Akses Bioskop, Film Indonesia Bermasalah Pasca Kecemburuan IndoXXI -

Akses Bioskop, Film Indonesia Bermasalah Pasca Kecemburuan IndoXXI Berbagai pihak berkedok sebagai peluang untuk memajukan industri kreatif. Namun, pandangan lain menyebutkan masih banyak daerah yang belum tersentuh bioskop sehingga Nonton Indoxxi On the web menjadi ‘oasis’ kebutuhan hiburan sinematik. Budaya pop dan pemerhati film Hikmat Darmawan adalah salah satu yang menganggap situs streaming ilegal seperti IndoXXI membantu karya movie, buatan siapa saja, dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Namun, penilaian tersebut bukan berarti membenarkan membiarkan layanan streaming film ilegal berkembang di Indonesia. “IndoXXI dan sejenisnya sudah termasuk [alternatif layanan film bagi masyarakat]. Selama ini kita hanya fokus pada kejahatan, tapi tidak pada alasan mengapa kejahatan itu terjadi,” kata Hikmat kepada CNNIndonesia.com. “Ini bukan hanya masalah ethical. Ini adalah masalah kelangkaan sumber daya,” lanjutnya.

Akses Bioskop, Film Indonesia Bermasalah Pasca Kecemburuan IndoXXI

Tercatat sekitar 1.130 situs layanan streaming film ilegal telah diblokir pada 2019. Salah satu situs layanan streaming ilegal terbesar di Indonesia, IndoXXI, juga sempat ditutup pada awal 2020. Seribuan meninggal dunia. Istilah ini menggambarkan situasi setelah penutupan IndoXXI. Sejumlah laman alternatif alternatif streaming ilegal bermunculan. Hikmat menyebut fenomena ini sebagai bukti kegigihan masyarakat Indonesia dalam mencari film yang lebih tinggi dari pemerintah. Hal yang sama diyakini akan terus terjadi jika akses masyarakat terhadap movie, khususnya bioskop, tidak ditingkatkan.

Di sisi lain, Hikmat menyadari ada banyak cara bagi masyarakat untuk mengakses movie, mulai dari menonton film bersama komunitas, hingga layanan digital berbayar seperti Netflix dan Amazon Prime dengan tarif mulai dari Rp49.000 hingga Rp85.000. Beberapa layanan seperti HOOQ, Viu, dan iflix juga menyediakan beberapa film gratis. Namun, ragam film terbaru hanya bisa diakses dengan cara berlangganan, mulai dari Rp 30-69 ribu for each bulan.

Hanya Untuk Golongan Tertentu
Bioskop, menurut Hikmat, juga bukan hiburan yang bisa dinikmati semua orang. Selain memiliki faktor pembatas berupa akses, Anda membutuhkan spending plan yang cukup besar untuk sekelompok orang pergi ke bioskop. “Mulai dari tiket, biaya akomodasi seperti bensin, tidak jika ingin popcorn dan minuman. Itu bisa mempengaruhi keputusan untuk menontonnya,” ujar Hikmat.

“Tapi nonton di bioskop lebih whole karena pengalaman indrawi lebih total [didapat] dibandingkan dengan menonton di layar televisi atau bahkan property theater,” ujarnya. Dengan demikian, bioskop dinilai akan tetap menjadi salah satu pilihan utama masyarakat Indonesia ketika ingin menonton film.

Permasalahan muncul ketika bioskop di Indonesia sebagian besar tersebar di kota-kota besar seperti Jabodetabek. Padahal, kata Hikmat, dulu Indonesia memiliki sekitar 6,6 ribu layar hingga ke tingkat kecamatan. Bioskop seolah-olah dibagi menjadi beberapa kelas sehingga distribusi film terasa hingga ke daerah-daerah.

“Tahun 90-an teman saya nonton di Kupang, kalau tidak salah tempat duduknya mendatar dari bangku kayu. Jadi kadang pas nonton tiba-tiba ular lewat,” kata Hikmat. bahwa masa distribusi film tersebut bisa mencapai satu tahun.Hikmat mencontohkan ketika sebuah film telah kadaluwarsa di bioskop kelas satu, maka movie tersebut akan ditayangkan di bioskop kelas dua, dan seterusnya.

Tak hanya itu, beberapa movie juga bisa diputar langsung di bioskop kelas dua tanpa harus ditayangkan di bioskop kelas satu. Menurutnya, dalam kondisi seperti itu, budaya pergi ke bioskop terbangun di masyarakat. Hikmat menegaskan, budaya pergi ke bioskop bisa terbentuk jika infrastruktur menjangkau seluruh lapisan masyarakat Akses Bioskop, Film Indonesia Bermasalah Pasca Kecemburuan IndoXXI.